Sabtu, 26 November 2011

Jenis Tanaman Berguna Bagi Suku Dani di Lembah Baliem, Papua

Dua studi lapangan yang terpisah telah dilalmkan di Lembah Baliem (138°30'- 139°30' BT dan 34°0' - 4200'LS) Papua untuk mengidentifikasi jenis-jenis tanaman berguna bagi suku Dani yang hidup di lembah tersebut. Studi lapangan pertama dilakukan selama lima bulan (Maret - Juli 1994) di Mume-Kuyawage dan Mapnduma. Studi ini merupakan bagian dari program kajian ekologi Taman Nasional Lorentz dari WWF. Studi kedua merupakan observasi singkat (21 - 26 Mei 2005) di sekitar
kota Wamena yakni Kumima, Siapkosi, Napua, Sinakma, Pisugi, Wanima, Sunili, Tulem dan Woma. Studi ini bagian dari penelitian usaha peternakan tradisional kerjasama Dinas Peternakan Kabupaten Jayawijaya, International Potato Centre (CIP) Bogor and South Australian Research and Development Institute (SARDI). Investigasi langsung dilakukan diikuti dengan wawancara semi-struktural untuk menghimpun informasi ten tang jenis tanaman berguna yang biasanya dimanfaatkan oleh suku Dani. Kedua studi lapangan ini berhasil mengidentifikasi minimal 35 jenis tanaman berguna yang dimanfaatkan suku Dani untuk berbagai keperluan, contohnya untuk bahan konstruksi, kayu bakar, pangan, peralatan dapur dari berburu serta sebagai ornament budaya atau ritual tertentu (Tabel 1). Pemanfaatan jenis tanaman sebagai bahan bangunan sangat bervariasi diantara suku-suku di Papua. Tujuh jenis tanaman diidentifikasi sebagai bahan bangunan yang umum digunakan oleh suku Dani. Misalnya untuk bahan bangunan banyak digunakan Podocarpus papuana sebagai panel dinding bagian dalam, sedangkan bagian luar terbuat dari Araucaria cunninghamii, Paraserianthes faltacaria dan beberapa jenis kayu keras lainnya. Imperata cylindrica atau daun palem (Calamussp.) dimanfaatkan baik untuk atap rumah maupun kandang ternak babi. Sedikit berbeda dengan suku-suku yang mendiami wilayah pesisir, misalnya kelompok etnik di
Pulau Rumberpon memanfaatkan kelompok tanaman bakau sebagai bahan konstruksi
rumah mereka (Leonard et al., 2003). Jenis yang sama digunakan secara umum oleh suku
Dani Paraserianthes falcataria juga digunakan oleh suku Wondama di Desa Tandia di Wasior
sebagai bahan konstruksi(Worabai et al.,2001). Pemanfaatan jenis tanaman tertentu
sebagai kayu bakar merupakan hal yang umum dilakukan oleh kelompok masyarakat yang mendiami daerah sekitar hutan. Dalam penelitian ini ditemukan 17 jenis tanaman digunakan
secara luas oleh suku Dani sebagai sumber kayu bakar. Studi Peday (2004) di daerah dataran
tinggi di Jayawijaya berhasil mengidentifikasi jenis tanaman lain yang digunakan oleh suku Dani sebagai kayu bakar. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa jenis-jenis tanaman untuk kayu bakar oleh masyarakat Dani masih lebih rendah dibanding masyarakat di Timor Barat, yang memanfaatkan kurang lebih 21 jenis tanaman (Pulunggono, 1999). Studi yang dilakukan Rachman et al., (1996) di enam desa (Mukoko, Wouma, Walesi, Hubkosi, Honelama dan Kosilapok) di kota Wamena mengungkapkan bahwajenis tanaman tertentu umumnya digunakan sebagai kayu bakar antara lain Bischofia javanica, Casuarina sp., Greviela papuana dan Paraserianthes faltacaria. Jenis lainnya adalah Phyllocladus hypophyllus, Papuacedrus papuanus, Dendrocnide peltata, Podocarpus amarus, Podocarpus neriifolius, Elaeocarpus sp, dan Araucaria klinki secara teratur dimanfaatkan sebagai kayu bakar di daerah dataran tinggi Wamena.

Tabell. Jenis tanaman yang dimanfaatkan suku Dani dalam aktivitas hariannya

 Spesies
 Nama Lokal
 Pemanfaatan
Acalypha amentacea

 Lesane
Daun kering untuk menggulung tembakau, ranting keras untuk
kayu bakar, kulit elastis untuk keranjang dan bahan rajutan
untuk tas serta bahan untuk pakaian wanita
Alpinia brevituba

 Jewi
 Bumbu mempunyai aroma spesial sepertijahe
Araucaria cunninghamii

 Sien
 Bahan konstruksi, kayu bakar dan peralatan berburu
Alyxia floribunda

 Ilak-ilak
Kulit digunakan untuk bahan rajutan tas wanita
Baeckea frustescens

 Wileh-wileh
 Bahan kayu bakar
Bischofia ja van ica

 Pum
 Bahan kayu bakar yang baik
 Calamus prattianus
 Mul
 Bahan pembuat tali, keranjang, peralatan pertanian dan alat
berburu (panah dan busur)
Castanopis acuminatissima
 Heye
Buahnya dapat dimakan, kayu untuk konstruksi, pagar dan kayu
bakar
 Casuarina sp.
Kasuari
 Bahan kayu bakar yang baik
 Cordyline terminalis
 Jabe
 Dahan dan ranting untuk kayu bakar, dan daun digunakan dalam
tarian upacara adat
 Dacydium elatum
 Wapi
Kayu bakar
 Dawsonia beccari
 Wurigi
 Dahan keras digunakan untuk bahan rajutan rok wanita
 Eleocharis dulchis
 Sali
 Bahan rok wanita
 Ficus aderosperma


 Greviela papuana
 Hule
 Kayu kering digunakan untuk pagar dan kayu bakar, sedangkan
kulit kayu sebagai bahan rok wanita
 Helichrysum bracteatum
 Wip
Kayu bakar
 Imperata cylindrica
 Bunga Kurulu
 Bunga dengan nilai jual tinggi
 Ipomoea batatas
 Alang-alang
 Bahan atap rumah dan kandang temak
 Lagenaria siceraria
Hipere
 Sumber makanan utama suku Dani
 Metrosideros pul/ei
 Sika / holim
 Buahnya dikonsumsi, bunga kering berbentuk seperti botol
digunakan sebagai tempat menyimpan air dan darah dalam
upacara adat. Buah yang berbentuk panjang dan lurus digunakan
sebagai "koteka" pelindung penis
 Mussaenda reindwardtiana
 Selon
Kayu keras yang digunakan sebagai bahan konstruksi, pagar,
alat penggali, tombak dan kayu bakar
 Pandanus conoideus
 Pit-pit engka
 Daun muda digunakan sebagai bahan alas "noken" keranjang
yang sering digunakan untuk memikul barang.
 Pandanus julianettii
 Saik-eken
 Minyak digunakan untuk memasak bahan makanan dan
ampasnya merupakan pakan temak babi
 Pandanus pectinatus
 Saluke
 Buahnya dikonsumsi sedangkan daun biasanya digunakan
sebagai payung dan bahan atap pondok di hutan
 Paraserianthes faltacaria
 Saim
 Daun menggantikan fungsi payung dan sebagai bahan tikar
 Piper gibbilimbum
 Wiki
 Terkadang digunakan sebagai bahan pagar tetapi umumnya
dimanfaatkan untuk kayu bakar
 Pittosporum ramiflorum
 Munika
 Kayu dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan bijinya dipakai
anak-anak untuk bermain perang-perangan
 Podocarpus papuana
 Farahab
 Kayu bakar dan komponen konstruksi
 Setaria palmifolia
 Sowa
 Dauan dikonsumsi, dimasak dengan cara "bakar batu" - cara
tradisional memasak dengan batu yang panas
 Wendlandia paniculata
Sugun
 Dahan dan ranting kering digunakan sebagai pagar dan kayu
bakar

Kelompok etnik yang mendiami wilayah pesisir Papua, mengambil keuntungan dari jems bakau yang penyebaran dan kelimpahannya cukup tinggi, misalnya kelompok masyarakat di Supiori Selatan di Biak Numfor yang memanfaatkan jenis mangrove sebagai kayu bakar (Mamoribo et al., 2003). Hal yang sama juga ditemukan pada suku Inanwatan di Sorong, memanfaatkan beberapa jenis bakau seperti Ceriops decandra, Avicennia sp., Rhizophora sp., dan Sonneratia sp. sebagai sumber energi dan kayu bakar (Prayitno et al., 2002). Kelompok masyarakat Senebuay di Pulau Rumberpon memanfaatkan delapan jenis bakau untuk berbagai tujuan antara lain kayu bakar, obat-obatan dan peralatan berburu (Leonard, et al., 2003). Jika ditinjau menurut aspek ketahanan pangan, meskipun tidak terlalu banyak yang diungkap selama pengamatan, beberapa jenis tanaman berhasil teridentifikasi dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan secara khusus bagian buahnya antara lain: Ipomoea batatas, Lagenaria siceraria, dan Pandanus julianettii. Terbatasnya waktu pengamatan di lapangan mempengaruhi jumlah jenis yang dimanfaatkan oleh suku Dani sebagai sumber pangan. Hasil ini lebih rendah dibandingkan temuan di suku Wondama di Wasior, yang memanfaatkan 24 species tanaman sebagai sumber pangan mereka Worabai et al., (2001). Penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi sembilan jenis tanaman yang dimanfaatkan untuk tujuan sosial budaya misalnya sebagai ornament dalam kegiatan ritual budaya setempat. Pemanfaatan jenis tanaman untuk tujuan sosial budaya juga dilakukan oleh kelompok etnik di wilayah pesisir, misalnya di Kepala Burung, empat species mangrove dimanfaatkan untuk tujuan sosial dan budaya oleh kelompok etnik lokal di Senebuay, Pulau Rumberpon (Leonard et al., 2003). Di hutan dataran rendah Bayeda di Teluk Arguni, dua species palem dimanfaatkan untuk ritual budaya oleh komunitas masyarakat setempat (Neg a et al., 2003). Studi ini hanya sedikit menemukan jenis tanaman obat tradisional, karena memang fokus pengamatan lebih banyak tertuju pada jenis tanaman yang digunakan sehari-hari seperti kayu bakar dan bahan konstruksi.
Namun kami masih percaya bahwa suku Dani, seperti suku-suku asli Papua lainnya, masih mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi pada jenis tanaman tertentu sebagai sumber obat tradisional. Walaupun pada saat ini pelayanan medis modem telah disediakan oleh pemerintah maupun swasta. Pendapat ini sejalan dengan hasil kajian kajian di beberapa daerah lain di Papua. Misalnya di Pulau Mansinam Manokwari, Hamzah et al., (2003) mengidentifikasi 25 jenis tanaman obat, 19 diantaranya obat untuk mengobati penyakit manusia. Bagian tanaman yang banyak dimanfaatkan yaitu daun (kurang lebih 18 jenis). Hal yang sama dijumpai pada suku Wiekhaya di Arso, Jayapura yang memanfaatkan daun dari 21 jenis tanaman (dari 41 jenis) digunakan sebagai obat tradisional (Suebu et al., 2002). Suku Maibrat di Sorong menggunakan kurang lebih 40 jenis tanaman obat (30 famili) dalam kehidupan sehari-hari mereka (Howay et al., 2003). Menurut Pulunggono (1999) 22 jenis tanaman obat (13 famili) umumnya merupakan produk hasil hutan yang dimanfaatkan sebagai obat-obatan tradisional masyarakat Amarasi di Kupang, Mollo dan Amanatun di Timor Tengah Selatan. Jenis tersebut masih lebih sedikit jika dibandingkan penggunaan tanaman obat di Sumatera Utara (Simbolon, 1994). Berdasarkan pengamatan di lapangan, wawancara serta hasil penelusuran sejumlah pustaka yang relevan, diketahui bahwa jenis tertentu bukan merupakan tanaman asli Lembah Baliem, tetapi sekarang tumbuh dan menyebar di sekitar lokasi penelitian. Beberapa jenis yang dicatat oleh Wiriadinata et al., (1992) seperti Acalypha amentacea yang berasal dari wilayah tropis di Amerika diintroduksi ke Lembah Baliem oleh misionaris, dan Helichrysum bracteatum diintroduksi ke Tiom sekitar tahun 1966, dan saat ini umumnya ditemukan menyebar di beberapa tempat di sekitar lembah. Selain itu Solanum sp dan Passiflora indica juga merupakan species introduksi yang dilakukan oleh misionaris dan dikenal sebagai jenis buah yang dikonsumsi sampai dengan saat ini (Jonias Kogoya pers.comm, 2006).

Sumber : http://www.papuaweb.org/dlib/jr/pattiselanno/2007c.pdf

Minggu, 09 Oktober 2011

SUHU SEBAGAI FAKTOR PEMBATAS

Suhu merupakan faktor lingkungan yang dapat berperan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap organisme hidup. Berperan langsung hampir pada setiap fungsi dari tumbuhan dengan mengontrol laju proses – proses kimia dalam tumbuhan tersebut, sedangkan peran tidak langsung dengan mempengaruhi faktor – faktor lainnya terutama suplai air. Suhu akan mempengaruhi laju evaporasi dan menyebabkan tidak saja keefektifan hujan tetapi juga laju kehilangan air dari organisme hidup.

RIVIEW TENTANG VIDIO
Sekelompok ilmuwan kelautan dan ahli ekologi bertemu di London, untuk menyusun laporan tentang kondisi lautan di bumi bahwa terdapat bahaya yang dihadapi spesies laut dan lingkungannya. Para ilmuwan berkata, faktor penyebab kepunahan spesies laut dimasa lalu, sekarang terjadi lagi. Mereka disebut "trio mematikan": karena kurangnya oksigen, naiknya suhu laut dan pengasaman laut. Dan mengakibatkan beberapa terumbu karang telah hancur sebagai akibatnya.
Bahwa [Professor Jelle Bijma, Institut Alfred Wegener]:mengatakan "Akibat dari laut yang, katakanlah, "sudah layu", dimana karbon dan mahluk organik berkumpul, ini akan diambil atau dimakan oleh bakteri yang mengkonsumsi oksigen. Jika anda tidak merawat laut sering-sering, ia akan menjadi zona mati."  Profesor Kelautan Chris Reid mengatakan perubahan laut saat ini tengah berlangsung cepat. [Chris Reid, Profesor, Institut Kelautan, Universitas Plymouth]:
"Perubahan yang kita lihat saat ini berlangsung sangat cepat. Tingkat kadar keasaman yang kita lihat di lautan saat ini, belum pernah kita alami selama 55 juta tahun."

SUMBER
http://biology093b.wordpress.com/2010/10/10/suhu-sebagai-faktor-pembatas/
http://www.youtube.com/watch?v=19gbzaYhNFM

Selasa, 04 Oktober 2011

Autekologi dan Sinekologi

Secara umum Ekologi sebagai salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari interaksi atau hubungan pengaruh mempengaruhi dan saling ketergantungan antara organisme dengan lingkungannya baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan makhluk hidup itu. Lingkungan tersebut artinya segala sesuatu yang ada di sekitar makhluk hidup yaitu lingkungan biotik maupun abiotik. Beberapa ahli ekologi mendefinisikan Ekologi sebagai berikut:

a.    Odum (1983), Ekologi diartikan sebagai totalitas atau pola hubungan antara makhluk dengan lingkungannya.
b.    Kendeigh (1980), Ekologi sebagai kajian tentang hewan dan tumbuhan dalam hubungannya antara satu makhluk dengan makhluk hidup yang lain dan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
c.    Krebs (1972), Ekologi, merupakan ilmu yang mempelajari interaksi-interaksi yang menentukan sebaran/agihan (distribusi) dan kelimpahan organisme-organisme.

Fungsi ekosistem menunjukkan hubungan sebab akibat yang terjadi secara keseluruhan antar komponen dalam sistem. Ini jelas membuktikan bahwa ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari seluruh pola hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup lainnya, serta dengan semua komponen yang ada di sekitarnya.
Di dalam ekologi tumbuhan ada dua bidang kajian, yaitu Autekologi dan Sinekologi.
a.    Autekologi, yaitu ekologi yang mempelajari suatu spesies organisme atau organisme secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Contoh autekologi misalnya mempelajari sejarah hidup suatu spesies organisme, perilaku, dan adaptasinya terhadap lingkungan. Jadi, jika kita mempelajari hubungan antara pohon Pinus merkusii dengan lingkungannya, maka itu termasuk autekologi. Contoh lain adalah mempelajari kemampuan adaptasi pohon merbau (Intsia palembanica) di padang alang-alang, dan lain sebagainya.
b.    Sinekologi, yaitu ekologi yang mempelajari kelompok organisme yang tergabung dalam satu kesatuan dan saling berinteraksi dalam daerah tertentu. Misalnya mempelajari struktur dan komposisi spesies tumbuhan di hutan rawa, hutan gambut, atau di hutan payau, mempelajari pola distribusi binatang liar di hutan alam, hutan wisata, suaka margasatwa, atau di taman nasional, dan lain sebagainya.

Dari segi autekologi, maka bisa dipelajari pengaruh suatu faktor lingkungan terhadap hidup dan tumbuhnya suatu jenis pohon yang sifat kajiannya mendekati fisiologi tumbuhan, dapat juga dipelajari pengaruh suatu faktor lingkungan terhadap hidup dan tumbuhnya suatu jenis binatang liar atau margasatwa. Bahkan dalam autekologi dapat dipelajari pola perilaku suatu jenis binatang liar, sifat adaptasi suatu jenis binatang liar, maupun sifat adaptasi suatu jenis pohon. Dari segi sinekologi, dapat dipelajari berbagai kelompok jenis tumbuhan sebagai suatu komunitas, misalnya mempelajari pengaruh keadaan tempat tumbuh terhadap komposisi dan struktur vegetasi, atau terhadap produksi hutan. Dalam ekosistem bisa juga dipelajari pengaruh berbagai faktor ekologi terhadap kondisi populasi, baik populasi tumbuhan maupun populasi binatang liar yang ada di dalamnya. Akan tetapi pada prinsipnya dalam ekologi tumbuhan, kajian dari kedua segi (autekologi dan sinekologi) itu sangat penting.

Ekologi tumbuhan berusaha untuk menerangkan rahasia kehidupan pada tahapan individu, populasi dan komunitas. Ketiga tingkat utama ini membentuk sistem ekologi yang dikaji dalam ekologi tumbuhan. Masing-masing tingkatan adalah bersifat nyata, tidak bersifat hipotetik seperti spesies, jadi dapat diukur dan diobservasi struktur dan operasionalnya. Individu dan populasi tidak terpisah-pisah, mereka membentuk asosiasi dan terorganisasi dalam pemanfaatan energi dan materi membentuk suatu masyarakat atau komunitas dan berintegrasi dengan faktor lingkungan di sekitarnya membentuk ekosistem.

Berdasarkan tingkat integrasinya maka secara ilmu, kajian ekologi tumbuhan dapat dibagi dalam dua pendekatan, yaitu sinekologi dan autekologi. Sinekologi, berdasarkan falsafah dasar bahwa tumbuhan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang dinamis. Masyarakat tumbuhan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu keluar masuknya unsur-unsur tumbuhan dan turun naiknya berbagai variabel lingkungan hidup. Dalam sinekologi komunitas tumbuhan atau vegetasi mempunyai perilaku sebagai suatu organisma utuh. Vegetasi bisa lahir, tumbuh, matang dan akhirnya mati. Dua bidang kajian utama dalam sinekologi adalah bidang kajian tentang klasifikasi komunitas tumbuhan dan bidang kajian tentang analisis ekosistem.

Autekologi, falsafah yang mendasarinya adalah dengan memandang tumbuhan sebagai ukuran yang menggambarkan kondisi lingkungan sekitarnya. Clements menyatakan bahwa setiap tumbuhan adalah alat pengukur bagi keadaan lingkungan hidup tempat ia tumbuh. Dalam hal ini paling sedikit yang dimaksud dengan alam lingkungannya adalah iklim dan tanah. Dari kajian ini lahir bidang kajian yang menilai bahwa tumbuhan adalah sebagai indikator alam atau indikator lingkungan hidup. Bidang kajian ini dikenal dengan ekologi fisiologi. Perbedaan dari kedua bidang kajian ini adalah;
Sinekologi
Autekologi
§  Bersifat filosofis
§  Bersifat eksperimental
§  Deduktif
§  Induktif
§  Deskriptif (umumnya)
§  Kuantitatif
§  Sulit dengan pendekatan rancangan percobaan atau eksperimental design
§  Dapat dilakukan berdasar rancangan percobaan atau eksperimental design

Autekologi memperhatikan kondisi dan tanggapan individu spesies tanaman dalam habitat mereka. Selama evolusi, tumbuhan telah menempati setiap habitat terestrial dengan kondisi mulai dari iklim tropis, es abadi, padang rumput, padang gurun dan tempat dengan salinitas tinggi dimana kandungan nutrisinya yang sangat rendah. Kondisi lingkungan yang berbeda ini mengharuskan tanaman untuk beradaptasi.

Subyek dari autekologi adalah hasil dari proses tersebut, yaitu untuk menemukan ciri yang memungkinkan individu tanaman untuk berkembang di bawah kondisi tertentu. Tanggapan yang mungkin terhadap lingkungan adalah reaksi biokimia sampai dengan perubahan morfologi. Tanaman terdiri dari berbagai macam bentuk, dari tumbuhan raksasa yang berusia ratusan tahun di hutan hujan tropis dengan siklus hidup yang dimulai dari perkecambahan untuk pembentukan biji dalam hitungan abad, sampai pada spesies tahunan di daerah kering yang membentuk biji hanya dalam waktu beberapa hari. Ciri yang dimilki oleh tanaman untuk menanggapi keadaan lingkungan adalah pada struktur dan fisiologi. Jadi autekologi adalah keseluruhan ekologi tanaman, memperhatikan reaksi pada tingkatan organ individu (misalnya, tunas, ukuran daun, kedalaman akar) atau hubungan antar organ (misalnya, penyebaran materi antara pucuk dan akar, regulasi dari koordinasi akar dan pucuk). Ekologi individu tanaman menyajikan hubungan antara stres fisiologi dengan kondisi lingkungan.

Keseluruhan ekologi tanaman dapat dibagi dalam beberapa cara. Individu tanaman akan mengatur berbagai komponen dan menjaga keseimbangan mereka, antara lain:
§  Keseimbangan suhu, suhu yang diperlukan tidak berlebihan
§  Keseimbangan air, kondisi aktif dimungkinkan jika sel dalam kondisi air yang cukup
§  Keseimbangan nutrisi, pertumbuhan akan terjadi hanya dengan adanya elemen esensial dalam nutrisi
§  Keseimbangan karbon, diperlukan untuk mensuplai organ yang ada untuk pertumbuhan dan reproduksi.

Sinekologi adalah tingkatan lebih besar dalam ekologi tanaman, perluasan populasi berdasarkan perbanyakan dan persebaran. Sinekologi tidak melihat individu sevara sendiri, melainkan perilaku populasi baik secara spasial maupun temporal, terdiri dari pertumbuhan populasi, homeostasis. Umumnya, vegetasi alami terdiri dari keanekaragaman spesies yang memanfaatkan sumberdaya yang ada. Dalam sinekologi, spektrum yang luas dari respon di tingkat selular dan seluruh tanaman tergantikan oleh keanekaragaman yang besar pada spesies (350.000 spesies tanaman vaskular) yang menentukan komposisi proporsi yang berbeda pada vegetasi permukaan bumi. Beberapa hal yang menjadi pokok bahasan dalam sinekologi adalah:
§  Interaksi antara tanaman dan lingkungannya
§  Interaksi antara tanaman dengan hewan
§  Interaksi antar tanaman

Disusun oleh: Nur Rohman Hadi. Pendidikan Biologi. PPs UM Malang.

Rujukan:
1.    Hanum, Chairani. 2009. Ekologi Tanaman. Medan: USU Press.
2.    Irwanto. 2011. Ekologi Hutan. (Online). (http://ekologi-hutan.blogspot.com/, diakses 17 Maret 2011)
3.    Odum, EP. 1983. Basic Ecology. Sounders, Philadelphia.
4.    Schulze, Ernst Detlef., Beck, Erwin., Hohenstein, Klaus Muller. 2002. Plant Ecology. Heidelerg: Springer
5.    Utomo, Budi. 2006. Hutan Sebagai Masyarakat Tumbuhan Hubungannya dengan Lingkungan. Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian. USU. Medan
6.    http://e-course.usu.ac.id/content/biologi/ekologi/textbook.pdf

sumber: 
file:///C:/Users/Eka%20Rahma%20P/Documents/ekologi-tumbuhan-berbasis-pendekatan.html